Naik kahar dan Joli dari Buitenzorg ke Batavia

Beda dulu beda sekarang, meski sejak dulu jaraknya masih tetap sama yaitu 60 km, namun Buitenzorg sekarang kini semakin dekat dengan Batavia dibandingkan pada masa lalu.  Bus dan KRL pun pulang pergi mengangkut penumpang yang bejubelan setiap harinya. Padahal dahulu sebelum jaringan kereta api mulai dibuka tahun 1873, orang-orang harus berpikir dua kali jika ingin bepergian ke Batavia atau sebaliknya. 

angkutan umum jaman dulu di bogor


Pada pertengahan tahun 1950-an saja, hanya ada satu jalan lintas ke Jakarta yaitu melalui Cibinong.  Angkutan kota yang cukup mendominasi waktu itu adalah oplet, yang bahkan jalannya harus tersendat-sendat karena jalan raya yang harus dibagi jadi dua jalur. Sedangkan Jalan yang ke arah Parung dan Ciputat saat itu masih berupa jalan tanah.

Jalan Raya yang menghubungkan Bogor dengan Jakarta itu dibangun pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Herman Daendels (1808-1811), untuk tempat peristirahatannya dari perjalanan jarak jauhnya, Ia membangun sebuah istana di perbataan dengan perkebunan kopi yang bernama Sains Souci, istana itupun diberinama dengan Buitenzorg Pallais atau Istana Sains Souci. 


Kabarnya pula, Daendels pergi ke Bogor dengan menaiki kereta yang ditarik oleh 30 ekor kuda. Dan setiap saat perjalanannya, kuda-kudanya itu harus berjuang dengan kubangan lumpur di sepanjang jalan kota hujan ini. 

Beda pejabat, beda pula gaya masyarakat asli alias pribumi, warga lokal Betawi atau Bogor yang ingin bepergian harus menggunakan 'kahar' yaitu sejenis pedati yang ditarik oleh dua ekor kuga. Kahar ini bisa menampung dua penumpang sekaligus plus barang-barang dagangan mereka tentunya.  Untuk ongkosnya dikenakan ongkos borongan, jika berangkat dari Batavia menuju Buitenzorg, maka akan ditarik biaya sebesar 12,5 gulden. Sangat mahal memang, karena saat itu harga beras per kilonya masih sekitar 3,5 sen. Kalau dihitung-hitung, ongkos naik kahar dari Batavia ke Buitenzorg bernilai lebih dari 300 kilogram beras.  



Angkutan lain yang bisa digunakan untuk bepergian adalah perahu yang melintasi sungai-sungai dari Batavia ke Buitenzorg atau sebaliknya, sedangkan angkutan lain yang juga cukup banyak digunakan adalah 'Joli' yaitu tandu yang dipikul oleh empat orang.  Kalau menggunakan Kahar bisa menghabiskan waktu antara 3 - 4 jam,  naik joli bisa menghabiskan waktu yang lebih lama. Dari Batavia ke Buitenzorg saja bisa habis 8 - 10 jam atau malah setengah hari perjalanan. 



Apalagi saat itu jalan raya dari Batavia ke Buitenzorg masih sunyi, dan masih jarang  warung-warung atau rumah makan di pinggir jalan. Karena itulah, mereka harus bersiap dengan bekal makanan dan minuman yang cukup banyak.  Tapi meski jalan raya masih dipenuhi oleh hutan-hutan lebat, namun tidak ada laporan terjadi perampokan atau aksi kejahatan apalagi pembegalan di tangah jalan. Berapa tarif angkut naik joli masih belum diketahui secara pasti, namun kemungkinan sebelum memulai perjalanan mereka (penumpang dan kuli angkut) terlebih dahulu akan saling deal harga atau nego-nego harga. 

Kahar dan Joli ini umumnya ngetem di pusat-pusat kota, misalnya di Batavia mereka akan ngetem di seputaran Jl Raya Pos atau Grote Post weg di depan Gedung Museum Sejarah DKI di Jl Fatahilah, atau dekat stasion Kereta Api.  Pada saat kereta trem listrik mulai dioperasikan, kawasan ini jadi tempat akhir pemberhentian untuk jurusan Meester Cornelis ( jatinegara) - Kota. Di dekat-dekat situ terdapat sebuah bangunan yang bernama Nederlandshe Handel Maatchappij (NHM), hingga tahun 1970-an, bangunan ini masih disebut sebagai gedung faktori ynang diambil dari kata belanda de Factorij. 



NHM inilah yang kemudian meneruskan jejak-jejak VOC yang bangkrut akibat korupsi yang merajalela dan dibubarkan pada tahun 1799. Keberadaan NHM ini pun tak lepas dari sistem tanam paksa Gubernur Jenderal Van den Bosch (1830-1833), melalui NHM pula berbagai produk dan hasil pertanian di kirim ke Eropa.  


Setelah kedatangan Inggris ke Buitenzorg, Sir Thomas Stamford Raffles (1811-1815) sangat tertarik pada keindahan kota yang berjuluk kota hujan ini. Raffles kemudian membangun sebuah Kebun Raya yang bersebelahan dengan Istana. Bahkan istri pertama Raffles, Olivia Miriammne, meninggal dan dimakamkan di area Kebun Raya ini.  Saking cintanya Raffles kepada Buitenzorg, bisa dikatakan selama masa pemerintahan empat tahun Inggris di Nusantara ini, sang pendiri Singapura itu pun tidak pernah meninggalkan Buitenzorg dan jarang berada di Batavia meskipun ia membangun sebuah rumah mewah di Rijswik yang kelak menjadi Hotel der Nederlanden, dan kemudian dijadikan Markas Besar Cakrabirawa oleh Bung Karno sebelum berubah menjadi Gedung Bina Graha pada masa kepemimpinan Presiden Soeharto. 


Raffles memang menikmati istana yang dibangun oleh Daendels, Ia berangkat dari Batavia menuju BUitenzorg dengan menggunakan kereta yang ditarik oleh delapan ekor kuda. Selain di Bogor, Raffles juga terkadang tinggal di Istana Cipanas. Di kedua Istana yang megah inilah, Raffles sering berpesta-pora dengan jamuan makanan mewah dan galonan sampanye. Usai pesta, para tamu-tamu itu pun pulang dalam keadaan teler di kereta kudanya. 


Itulah sekelumit kisah perjalanan dari Batavia ke Buitenzorg naik kahar atau Joli pada masa dahulu, semoga bisa menambah pengetahuan anda.


0 Response to "Naik kahar dan Joli dari Buitenzorg ke Batavia"

Post a Comment