Pemandangan di sekitar Gunung Salak tahun 1888 ( photo: koleksi Museum Volkenkunde ) |
Batu-batuan besar yang terbawa oleh derasnya aliran sungai waktu terjadi
letusan Gunung Salak
Hampir seluruh permukaan tanah tertutup dengan tanah liat merah yang halus, sepintas mirip tembok yang dilapisi oleh semen tipis ( di aci ).
Di beberapa lokasi bahkan tanah liat tersebut telah mengering dan mengeras sehingga kita pun dapat berjalan di atasnya, tetapi pada tempat- tempat lain orang dapat terbenam sedalam satu kaki didalam tanah liat berlumpur tersebut.
Sementara di lokasi bekas keraton yang disebut dengan Pakuan, yang terletak antara Batavia ( sekarang jakarta ) dengan Cisadane belum pernah kejadaian bencana sebelumnya yang bisa menyebabkan tanah terbelah dan terpecah-pecah menjadi beberapa retakan besar yang berukuran lebih dari satu kaki besarnya.
Sebuah kabar lain mencatat bahwa aliran Ciliwung yang berada dekat muaranya tersumbat beberapa ratus meter akibat lumpur yang dibawanya. Van Riebeeck yang kebagian tugas membersihkan sumbatan tersebut akhirnya meminta upah dengan mengajukan tuntutan agar tanah Bojong Manggis dan Bojong Gede diberikan kepadanya sebagai pembayarannya.
Untuk meneliti akibat dan kerusakan dari gempa ini, pemerintah Kumpeni mengirimkan ekspedisi Ram & Coops pada tahun1701 ke kaki Gunung Pangrango.
Dari survey ini diberitakan pula bahwa aliran Cikeumeuh masuk terbenam ke dalam tanah dan sobekan Puncak Gunung Salak menghadap ke arah barat laut.
Diperkirakan, bahwa tanah yang terbelah hebat itu terjadi antara Ciliwung dan Cisadane.
( Masih banyaknya batu-batuan serta pasir di sekitar sungai tersebut merupakan salah satu bukti dan berkah dari akibat letusan Gunung Salak pada waktu itu )
Dalam catatan tersebut tidak disebutkan bagaimana nasib penduduk yang berada di wilayah yang terkena gempa dan penduduk yang berada di sepanjang aliran Ciliwung pada waktu itu, hanya saja pada tahun 1701, penduduk Kampung Baru ( sebutan belanda kepada Bogor waktu itu ) masih dapat mengantar team ekspedisi Ram & Coops.
Selain itu Abraham van Riebeeck pun tidak mencatat apa-apa mengenai sisa-sisa akibat letusan itu.
Hal tersebut menunjukkan bahwa kehidupan penduduk yang masih jarang pada waktu itu, sama sekali tidak terganggu, baik oleh gempa ataupun letusannya.
Dan pada tahun 1704 Van Riebeeck mendirikan pondok peristirahatan di Batutulis karena ia menganggap Gunung Salak sudah tidak menakutkan lagi.
Di beberapa lokasi bahkan tanah liat tersebut telah mengering dan mengeras sehingga kita pun dapat berjalan di atasnya, tetapi pada tempat- tempat lain orang dapat terbenam sedalam satu kaki didalam tanah liat berlumpur tersebut.
Sementara di lokasi bekas keraton yang disebut dengan Pakuan, yang terletak antara Batavia ( sekarang jakarta ) dengan Cisadane belum pernah kejadaian bencana sebelumnya yang bisa menyebabkan tanah terbelah dan terpecah-pecah menjadi beberapa retakan besar yang berukuran lebih dari satu kaki besarnya.
Abraham van Riebeeck
(18 October 1653 – 17 November 1713)
Untuk meneliti akibat dan kerusakan dari gempa ini, pemerintah Kumpeni mengirimkan ekspedisi Ram & Coops pada tahun1701 ke kaki Gunung Pangrango.
Dari survey ini diberitakan pula bahwa aliran Cikeumeuh masuk terbenam ke dalam tanah dan sobekan Puncak Gunung Salak menghadap ke arah barat laut.
Diperkirakan, bahwa tanah yang terbelah hebat itu terjadi antara Ciliwung dan Cisadane.
( Masih banyaknya batu-batuan serta pasir di sekitar sungai tersebut merupakan salah satu bukti dan berkah dari akibat letusan Gunung Salak pada waktu itu )
Dalam catatan tersebut tidak disebutkan bagaimana nasib penduduk yang berada di wilayah yang terkena gempa dan penduduk yang berada di sepanjang aliran Ciliwung pada waktu itu, hanya saja pada tahun 1701, penduduk Kampung Baru ( sebutan belanda kepada Bogor waktu itu ) masih dapat mengantar team ekspedisi Ram & Coops.
Selain itu Abraham van Riebeeck pun tidak mencatat apa-apa mengenai sisa-sisa akibat letusan itu.
Hal tersebut menunjukkan bahwa kehidupan penduduk yang masih jarang pada waktu itu, sama sekali tidak terganggu, baik oleh gempa ataupun letusannya.
Dan pada tahun 1704 Van Riebeeck mendirikan pondok peristirahatan di Batutulis karena ia menganggap Gunung Salak sudah tidak menakutkan lagi.
Letusan Gunung Salak berikutnya terjadi pada tahun 1761 dan 1780, namun kedua letusan ini tidak terlalu besar seperti letusan yang terjadi pada tahun 1699 sebelumnya itu.
Pada tahun 1834 terjadi gempa bumi besar ( kemungkinan gempa vulkanik dari gunung salak ) namun tidak tercatat adanya letusan gunung lagi.
Gempa ini termasuk cukup kuat karena dapat merobohkan sebagian bangunan Governor Palace ( Istana Bogor sekarang ).
De voorzijde van het Paleis Buitenzorg
na de aardbeving van 10 oktober 1834
Istana Bogor tampak bagian depan istana yang runtuh
akibat gempa bumi besar
-
Beberapa tahun kemudian dilakukan renovasi besar-besaran , sehingga tampak seperti bangunan yang sekarang ini.
Istana Bogor 1895 - 1905
Istana Bogor sekarang
Perjalanan dan perubahan bentuk bangunan dari Governor Palais atau Istana Bogor ini bisa dilihat secara detail dan lebih lengkap di sini : istana-bogor-dari-masa-ke-masa.html
KARAKTER GUNUNG SALAK
Gunung Salak merupakan gunung api strato tipe A. Tercatat terjadi beberapa kali letusan sejak tahun 1600-an diantaranya rangkaian letusan antara 1668-1699, 1780, 1902-1903, dan 1935.
Sementara itu letusan Gunung Salak terakhir berlangsung pada tahun 1938, berupa erupsi freatik yang terjadi di Kawah Cikuluwung Putri.
Gunung setinggi 2221 m di atas permukaan laut (dpl) tersebut memiliki beberapa puncak. Puncak tertinggi disebut Salak I setinggi 2211 m dpl disusul kemudian puncak Salak II setinggi 2180 m dpl dan puncak Sumbul setinggi 1926 m dpl.
Beberapa kejadian gempa-gempa tektonik pernah terjadi beberapa tahun belakangan yang sewaktu-waktu bisa memicu aktivitas vulkani di Gunung Salak.
Kemungkinan bahwa Gunung Salak bisa meletus kembali memang masih menjadi penelitian pihak terkait namun potensi untuk meletus akan selalu ada sejak Gunung tersebut masih terbilang aktif.