Cerita lain dari perang Bubat

Munculnya silang pendapat di antara para ahli ketika menyoal Perang Bubat hingga kini masih menjadi polemik sejarah, terlebih lagi lokasi kejadian berlangsungnya peristiwa tersebut masih menjadi tanda tanya. Selama ini bukti-bukti yang menyoal tentang itu hanya berupa naskah-naskah kuno dan manuskrip.  

Pada jaman dahulu, keberadaan Kerajaan Sunda dianggap sebagai wilayah yang unik bagi Majapahir. Kerajaan itu bebas merdeka namun berada di satu pulau yang sama yaitu, Jawadwipa.  Para penduduknya pun sama sekali tidak terpengaruh oleh berbagai peperangan dan kerusuhan yang terus - menerus terjadi di kawasan timur (Jawa Timur) sejak masa Airlangga, Janggala-Panjalu, Kadiri, Singhasari, sampai masa Tibuhuwanottunggadewi. Wilayah Sunda seolah tak terusik oleh peristiwa-peristiwa tersebut, dan itu mulai menarik perhatian para petinggi di Kerajaan Majapahit.

Pada sekitar abad ke-14, dalam kepemimpinan Hayam Wuruk, Majapahir mencapai puncak keemasannya. Kerajaan ini mempunyai pengaruh yang cukup luas, dan menjalin hubungan kerjasama yang saling menguntungkan dengan kerajaan-kerajaan lain di Nusantara. Sebagai sebuah kerajaan agraris, Majapahir memiliki kepentingan untuk memasarkan hasil bumi yang melimpah itu ke luar wilayahnya dan akan berusaha melindungi daerah-daerah tersebut demi kelangsungan kerjasama regional, terutama dalam bidan ekonomi, termasuk juga dengan Kerajaan Sunda. 


"Hubungan mereka secara politik baik-baik saja. Sunda bukanlah daerah vassal yang harus tunduk kepada Majapahit dan mengakui raja Majapahit sebagai penguasa yang harus dipertuannya, " kata Agus Aris Munandar, arkeolog Universitas Indonesia seperti dikutip dari Historia.id.  


"Kerajaan Sunda memiliki kedudukan (mitra satata) yang sama dengan Majapahit, karena itu keduanya dipersatukan dalam sebuah kerjasama regional di bidang ekonomi," ujar Hassan Djafar, ahli epigraf.


Hubungan antara Kerajaan Sunda dan Majapahir akan semakin bertambah kuat melalui perkawinan Hayam Wuruk dengan Dyah Pitaloka. Hal ini murni merupakan kisah cinta di antara keduanya, namun sayangnya rencana itu gagal atau digagalkan. 


Agus Aris Munandar memiliki pandangan yang berbeda mengenai gagalnya rencana perkawinan Hayam Wuruk dan Dyah Pitaloka itu. Penafsirannya itu berdasarkan kisah Panji Angreni yang ditulis pada tahun 1801 atas perintah Pangeran Adimanggala di Palembang. Menurutnya, Gajah Mada pada awalnya menyetujuji perkawinan tersebut sebagai upaya menyatukan Majapahit dan Sunda tanpa peperangan. 


Namun ayahanda Hayam Wuruk, Krtawarddhana (suami dari Tribhuwanottunggadewi) yang disebut juga sebagai penguasa Kahuripan, merasa keberatan dengan perkawinan tersebut. Apalagi Hayam Wuruk sudah dijodohkan dengan Indudewi, anak dari Rajadewi Maharajasa (adik Tribuwana) yang berkedudukan di Daha (Kadiri). Akhirnya, Krtawarddhana memerintahkan Gajah Mada untuk membatalkan rencana perkawinan tersebut.


Dalam peristiwa ini, Gajah Mada hanyalah perpanjangan tangan dari orangtua Hayam Wuruk yang merasa khawatir kedudukan permaisuri Majapahir jatuh ke tangan Dyah Pitaloka. Sehingga meletuslah peristiwa Perang Bubat. 


Lokasi Bubat 


Bubat adalah nama sebuah tempat di Majapahir. Kitab Negarakrtagama menyebutkan Bubat sebagai sebuah padang rumput yang terletak di bagian utara dari kerajaan. Daerah ini sering digunakan untuk ajang acara olahraga tahunan. Sedangkan Kidung Sunda menyebutnya sebagai sebuah pelabuhan-sungai dari ibukota Majapahit.


peta lokasi perang bubat

Nigel Bullough, seorang naturalis asal Inggris yang kemudian berganti nama menjadi Hadi Sidomulya, dalam tulisannya Napak Tilas Perjalanan Mpu Prapanca menyebutkan bahwa Bubat berada di sebelah selatan Kali Brantas, mungkin desa Tempuran yang dahulu terletak sekitar 10 km di sebelah utara Majapahit dan sekitar  km dari barat daya pelabuhan di Canggu. Akan tetapi apakah peristiwa Perang Bubat itu merupakan peristiwa historis sebagaimana yang dikisahkan Pararaton masih diragukan oleh sebagaian arkeolog dan ahli-ahli sejarah kuno. 


Pararaton yang menjadi sumber awal munculnya peristiwa Bubat itupun diragukan keakuratannya. Dari hasil pembacaan ulang atas teks Pararaton, filolog Perpustakaan Nasional RI, Agung Kriswantoro, di dalam Pararaton, Alih Aksara dan Terjemahan menyebut bahwa data sejarah dalam Pararaton kemungkinan besar menyimpang dari sumber data primer. Hal ini dikarenakan waktu penulisan teks tersebut dilakukan jauh setelah peristiwa sebenarnya terjadi. 


Hassan Djafar mengungkapkan terbatasnya sumber-sumber sejarah tentang Peristiwa Bubat, bahkan hingga kini pun tidak ada satu pun dari sekitar 50 prasasti yang berasal dari Kerajaan Majapahit dan sekitar 30 prasasti dari Kerajaan Sunda yang menyebutkan atau menguraikan kejadian Perang Bubat tersebut, padahal perang ini sudah memakan banyak korban dari Kerajaan Sunda.  


Selama ini yang menyebutkan peristiwa tersebut hanyalah sumber-sumber tertulis yang berupa naskah-naskah atau manuskrip. Guru Besar arkeolog di Universitas Indonesia, Edi Sedyawati membuat perkiraan yang lebih jauh lagi, menurutnya peristiwa Bubat tak lebih dari sisipan penyalin Pararaton, atau tambahan dari orang Belanda pertama yang menelitinya. 


Peristiwa Bubat memang masih diselimuti misteri, namun gaungnya cukup bergema dalam tradisi orang-orang Sunda. Hingga kini, anda tidak akan menemukan keberadaan Jalan Raya yang bernama Jalan Hayam Wuruk, Jalan Gajah mada, atau Jalan Majapahit di kota-kota besar di Jawa Barat.  


Baca juga : 


Sumber: Historia.id

0 Response to "Cerita lain dari perang Bubat "

Post a Comment