Menafsir Angka di Prasasti Batu Tulis

Adalah Adolf Winkler, seorang kapten VOC yang tertarik untuk melakukan sebuah ekspedisi guna membuat peta lokasi 'bekas kerajaan Pajajaran'. Adapun hal yang menjadi landasan ketertarikannya adalah laporan ekspedisi tiga tahun sebelumnya yang dilakukan oleh Sersan Scipio bersama pasukannya (VOC). Untuk mencapai tujuannya itu Winkler dibantu oleh seorang ahli ukur, 16 pasukan Eropa, dan 26 anak buah yang sebagian besar berasal dari Makassar.   

Tanggal 25 Juni 1690, rombongan tim ekspedisi pimpinan Winkler tiba di sebuah daerah yang sekarang dikenal dengan nama daerah Batutulis. Di tempat tersebut, mereka menemukan sebuah batu prasasti dengan tinggi dua hasta yang memuat informasi penting yang berhubungan dengan sejarahnya Sunda Kuna. Penemuan prasasti batu bertulis itu oleh Winkler kemudian dicatatnya dalam Daghregister 1690.


Menafsir Angka di Prasasti Batu Tulis

Catatan Winkler tentang temuan batu bertulis itu mengundang perhatian orang-orang Eropa untuk melakukan penyelidikan lanjutan. Namun hasil penyelidikan mereka hanya terbatas pada letak dan bentuk dari prasasti batutulis tersebut, tidak membahas isi tulisan dan tahun dibuatnya.
Penyelidikan mengenai tulisan di prasasti batutulis tersebut baru dilakukan oleh Letnan Gubernur Thomas Stamford Raffles di tahun 1817. Hasilnya ia tuangkan dalam karya monumentalnya yang berjudul The History of Java. Dalam bukunya itu, ia melampirkan transkripsi dari prasasti Batutulis sebagai objek penelitiannya, namun ia juga sempat menyebutkan kalau prasasti itu dalam kondisi kurang baik ketika ditemukan. 


Namun apa yang disebutkan Raffles ditentang oleh seorang sarjana Belanda, R. Friederich. Dalam “Verklaring van den Batoe-toelis van Buitenzorg,” yang diterbitkan dalam Jurnal Tijdschrift voor Indische taal-, land-, en volkenkunde, I. 1853,  Friederich justru menganggap kalau prasasti itu masih layak baca. Meskipun hasil kajiannya itu masih menyisakan celah mengenai transliterasi, namun dia termasuk perintis kajian akan isi prasasti Batutulis. Dia juga yang membuat alih aksara dan penterjemahan ke dalam bahasa Belanda lengkap dengan transkripsinya pada tahun 1853. 


Prasasti Batutulis berisikan sembilan baris susunan yang bertuliskan Jawa Kuna dan berbahasa Sunda Kuna, namun tidak seluruh tulisannya bisa terbaca dengan sempurna. Salah satu aksara yang masih menjadi bahan perdebatan para ahli adalah satu aksara di depan frasa ban yang hanya tampak tanda diakritik (Pepet). Perdebatan tersebut terutama menyangkut candrasengkala atau penentuan tahun dari prasasti Batutulis tersebut. Candrasengkala itu berbunyi panca pandawa ban bumi. 


Seorang etnolog Belanda, CM Pleyte memilik pemikiran lain yang ia tuangkan dalam Het jaartal op den Batoe-toelis nabij Buitenzorg, yang diterbitkan dalam jurnal Tijdschrift voor Indische taal-land-, en volkenkunde, LIII, 1911. Dalam jurnalnya ia menafsirkan aksara yang tidak terbaca di depan kata ban adalah hurug A, lalu ia menyisipkan huruf m di antara kata tersebut sehingga menjadi emban (Amban). Pleyte memperkirakan bahwa kata emban berasal dari angka empat sesuai dengan jumlah para panakawan yaitu Semar, Petruk, Gareng, dan Bagong. Dengan begitu jumlah sengkalan itu berarti; panca (5), pandawa (5), emban (4), dan bumi (1), sehingga bisa ditafsirkan bahwa tahun di tulisan prasasti Batutulis adalah 1455 Caka atau 1533 M. 


Namun tafsiran Pleyte disanggah oleh sejarawan Hoesein Djajadiningrat. Beliau inilah yang menjadi seorang pribumi pertama yang melakukan kajian terhadap prasasti Batutulis. Ia menuangkan pemikirannya dalam disertasi Critische Beschouwing van de Sadjarah Banten tahun 1913 di Rijksuniversiteit Leiden. Hoesein berpendapat bahwa ngemban lebih layak memiliki angka tiga (3), sehingga angka di tahun prasasti Batutulis adalah 1355 Caka atau 1433 M.


Pendapat berbeda dikemukakan oleh seorang ahli epigrafi Poerbatjaraka. Dalam De Batoe-Toelis bij BUitenzorg jurnal TBG (Tijdschrift Bataviaasch Genootschap), 59, 1920, dia menyebutkan bahwa frasa ngemban adalah dua (2). Dasar pemikirannya adalah arti kata ngemban yang bermakna mengendong atau mengemban/mengutus selalu memiliki jumlah dua yaitu menggendong dan digendong, serta mengutus dan yang diutus, sehingga Poerbatjaraka memperkirakan bahwa tarikh prasasti Batutilis adalah 1255 Caka atau tahun 1333 M. 


Merujuk pada pendapat Hoesein bahwa angka tahun di prasasti Batutulis bertepatan dengan naik tahtanya Niskala Wastukancana (1363-1467), sementara Poerbatjaraka berpendapat bahwa angka tahun di prasasti tersebut berkaitan dengan masa Prabu Maharaja (1350-1357) yang tewas di tanah lapang Bubat


Lokasi prasasti Batutulis berada di Keraton Pakuan Pajajaran

Hasan Djafar seorang ahli epigrafi yang kerap melakukan kajian terhadap prasasti peninggalan kerajaan Sunda ini menerangkan kepada Historia.id, bahwa kedua pendapat tersebut berbeda jauh dari informasi yang tertulis dalam prasasti. Isi prasasti tersebut nyata-nyata menyebutkan bahwa prasasti dibuat pada masa Prabu Surawisesa (1521-1535)bertahta untuk mengenang jasa-jasa Prabu Ratu, cucu dari Niskala Wastukancana yang mangkat di Nusalarang. Prabu Ratu kemudian dinobatkan dengan nama Prabu Dewataprana, dan kembali dinobatkan menjadi Sri Baduga Maharaja yang mangkat di Gunatiga. Sehingga bisa ditarik kesimpulan bahwa angka yang paling mendekati adalah angka tahun 1433 M, pendapat Hasan Djafar ini selaras dengan penafsiran dari Pleyte. 


Prasati Batutulis memiliki tiga bagian isi, yaitu: 

  1. Manggala atau pembuka yang memuat seruan wang na pun dan permohonan keselamatan kepada Dewa. 
  2. Sambandha atau tujuan pembuatan prasasti sebagai tanda peringatan (sakakala) untuk mendiang Sri Baduga Maharaja atas jasa-jasanya dalam membuat parit pertahanan yang mengelilingi ibukota Pakuan-Pajajaran, membuat jalan yang diurug oleh batu-batuan, membuat hutan larangan atau samida, dan membuat Telaga Warna Mahawijaya.
  3. Candrasengkala atau titimangsa yang bertuliskan panca pandawa ngemban bumi berangka 1455 Caka atau 1533 M. 



 

0 Response to "Menafsir Angka di Prasasti Batu Tulis"

Post a Comment